telusur.co.id, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS, Amin Ak, meminta tim yang dibentuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menerapkan diplomasi efektif yang memadukan keluwesan dengan keteguhan prinsip kedaulatan dalam negosiasi dengan pihak Amerika Serikat.
Hal itu sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, bahwa diplomasi Indonesia—termasuk di bidang ekonomi—difokuskan untuk mendukung pencapaian Asta Cita dengan memperkuat ketahanan nasional, kemandirian, dan kedaulatan negara.
Amin menyoroti kebijakan Amerika Serikat yang akan memberlakukan tarif impor sebesar 32% terhadap produk Indonesia mulai Agustus mendatang.
Amin memandang bahwa diplomasi dagang Indonesia bukan gagal, melainkan belum optimal dalam proses negosiasi. Karena itu, ia berharap Indonesia tidak terjebak dalam pola 'memberi konsesi tanpa jaminan', mengingat terlihat jelas bahwa AS sejatinya menggunakan tarif sebagai alat geopolitik, bukan semata-mata alat ekonomi.
“Pengenaan tarif 32% menunjukkan bahwa AS menggunakan perdagangan sebagai alat tekanan geopolitik. Indonesia harus lebih cerdik dalam bernegosiasi—tidak hanya menawarkan konsesi ekonomi, tetapi juga memastikan adanya jaminan pembukaan pasar AS dan perlindungan terhadap kedaulatan regulasi,” tegas Amin melalui keterangannya, Kamis (10/7/2025).
Jika tidak, lanjut Amin, pemberlakuan tarif ini bisa menjadi preseden buruk, di mana Indonesia ‘dipaksa’ terus memberi, sementara AS tetap memegang kendali.
Wakil Rakyat dari Dapil Jatim IV itu menegaskan pentingnya pendekatan baru yang mengutamakan kedaulatan nasional dan kepastian timbal balik dalam setiap negosiasi.
“Negosiasi sejauh ini terkesan menunjukkan kita memberikan banyak konsesi tanpa mendapatkan jaminan timbal balik yang setara. Saatnya kita mengubah pola ini,” tegas Amin.
Wakil Ketua Fraksi PKS itu juga mengingatkan bahwa memasukkan isu liberalisasi pengelolaan sumber daya alam (SDA) dalam alat negosiasi berpotensi menimbulkan implikasi yang rumit dan dilematis. Hal ini bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," kata Amin.
Amin menyampaikan, diplomasi dagang Indonesia ke depan harus berdiri di atas tiga pilar utama. Pertama, prinsip kedaulatan nasional yang tidak boleh dikorbankan demi kepentingan sesaat. Kedua, kesepakatan harus bersifat timbal balik dan seimbang. Ketiga, perlu adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan mengikat.
Ia mengakui bahwa kebijakan tarif tinggi AS ini akan berdampak serius pada berbagai sektor ekonomi Indonesia. Dampak paling mengkhawatirkan adalah ancaman terhadap 800.000 lapangan pekerjaan di industri tekstil, alas kaki, elektronik, dan kelapa sawit.
Padahal, selama ini neraca perdagangan Indonesia-AS menunjukkan surplus yang cukup besar, mencapai US$16 miliar pada tahun 2024.
“Ini bukan sekadar persoalan angka, tetapi menyangkut hajat hidup jutaan pekerja dan keluarganya,” ujar Amin Ak.
Untuk menghadapi situasi ini, Amin Ak mengusulkan langkah-langkah konkret. Dalam jangka pendek, pemerintah perlu segera melakukan diversifikasi pasar ekspor ke kawasan Uni Eropa dan Asia Tengah, serta memberikan insentif fiskal temporer bagi industri yang terdampak.
“Idealnya kita tidak boleh terus bergantung pada satu pasar. Diversifikasi adalah kunci ketahanan ekonomi,” jelasnya.
Untuk jangka menengah, penguatan industri hilir harus menjadi prioritas agar Indonesia tidak hanya menjadi pengekspor bahan mentah. Koordinasi yang lebih erat antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, dan BUMN juga dinilai penting guna menciptakan sinergi kebijakan.
Sedangkan dalam jangka panjang, Amin Ak menekankan perlunya revisi terhadap kerangka hukum perdagangan internasional Indonesia.
“Kita butuh sistem yang lebih tangguh, termasuk _early warning system_ untuk mengantisipasi berbagai kebijakan proteksionisme dari negara lain,” paparnya.
Menurut Amin, diplomasi dagang yang baik bukan hanya mencari jalan damai, tetapi juga harus mampu menghasilkan kesepakatan yang adil dan menguntungkan rakyat Indonesia. Ia mendorong kebijakan perdagangan yang lebih berpihak pada kepentingan nasional.