telusur.co.id - Oleh : Difa Amalia Dude, S.EI., M.SEI.
Saat pertama kali Jalan Panjaitan di Kota Gorontalo ditetapkan sebagai jalur satu arah, saya termasuk yang mendukung kebijakan tersebut. Alasannya sederhana, volume kendaraan di kawasan itu saat itu memang semrawut, dan jalan alternatifnya pun tidak terlalu jauh.
Namun, pandangan saya berubah setelah kebijakan itu justru diikuti dengan menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang trotoar. Alih-alih mengurai kemacetan, kondisi ini justru membuat kawasan tersebut kembali padat dan semrawut.
Wali Kota Gorontalo sebelumnya menyampaikan bahwa kebijakan mengizinkan PKL berjualan di kawasan tersebut didasarkan pada dua hal. Pertama, mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Nomor 03/PRT/M/2014, yang memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur pemanfaatan trotoar secara terbatas, termasuk bagi kegiatan ekonomi masyarakat, selama tidak mengganggu fungsi utamanya. Kedua, kebijakan itu diharapkan mampu mendorong perekonomian daerah, baik melalui peningkatan pajak dari aktivitas perdagangan (makro) maupun dengan memberi ruang bagi pelaku UMKM berjualan (mikro).
Namun, jika menilik alasan pertama, tampaknya ada kesalahpahaman mengenai makna “tidak mengganggu fungsi utama”. Trotoar sejatinya adalah ruang bagi pejalan kaki. Ketika area itu dipenuhi pedagang, tentu fungsinya sebagai jalur aman untuk berjalan menjadi terganggu. Analogi sederhananya: bagaimana mungkin seseorang bisa membaca dengan baik jika matanya ditutup? Sama halnya, bagaimana pejalan kaki bisa menggunakan trotoar jika dipenuhi meja jualan?
Dari sisi ekonomi pun, dampaknya belum terasa signifikan. Jalan Panjaitan yang menelan biaya pembangunan sekitar Rp 23 miliar, tidak akan balik modal dalam waktu singkat jika hanya mengandalkan aktivitas ekonomi kecil para pelaku UMKM.
Jika satu pedagang berpenghasilan bersih Rp 15 juta per bulan dan pemerintah menarik retribusi 5 persen, maka kontribusi per pedagang hanya sekitar Rp 750 ribu per bulan. Dengan jumlah pedagang yang terbatas, tentu butuh waktu lama untuk menutup investasi sebesar itu.
Selain itu, dari segi mikroekonomi, keberadaan lapak-lapak baru tidak otomatis menumbuhkan UMKM baru. Lokasi yang sempit, ditambah minimnya lahan parkir, membuat konsumen enggan datang. Akibatnya, potensi ekonomi kawasan justru tidak optimal.
Jika pemerintah ingin meniru konsep kawasan wisata kuliner seperti Braga di Bandung atau Malioboro di Yogyakarta, seharusnya dilakukan secara menyeluruh. Jalan Malioboro, misalnya, ditutup untuk kendaraan bermotor dan difungsikan sepenuhnya sebagai kawasan wisata budaya dan ekonomi kreatif. Ada ruang bagi pedagang, seniman, dan wisatawan untuk saling berinteraksi tanpa mengganggu fungsi jalan.
Kota Gorontalo sebenarnya punya alternatif yang lebih bijak untuk menata UMKM, seperti taman kota atau pasar sentral. Kedua lokasi tersebut dapat dikembangkan menjadi sentra ekonomi kreatif tanpa mengorbankan fungsi jalan umum. Dengan penataan yang tepat, pemerintah bisa tetap memberdayakan UMKM sekaligus menjaga keteraturan kota.
*Penulis adalah Pengamat Ekonomi, Dosen Institut Agama Islam Daruttaqwa (INSIDA) Gresik, dan Putri Asli Gorontalo.



