telusur.co.id -Temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terkait hujan mikroplastik di Jakarta pada Oktober lalu, yang kemudian disusul dengan laporan serupa di sejumlah daerah lainnya, memicu perhatian publik. Menanggapi hal tersebut, pakar lingkungan dari Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyoroti lemahnya pengelolaan sampah, khususnya sampah plastik, sebagai salah satu pemicu terjadinya fenomena tersebut.
Dalam membahas fenomena hujan dengan kandungan mikroplastik itu, Prof. Arseto Yekti Bagastyo, S.T., M.T., M.Phil., Ph.D. menjelaskan bahwa kondisi tersebut menunjukkan eskalasi keberadaan mikroplastik di lingkungan. Ia menyebut fenomena ini berkaitan dengan atmospheric deposition, yakni proses jatuhnya partikel atau zat yang berada di atmosfer ke permukaan bumi.
“Mikroplastik pada air hujan ini juga menjadi indikasi pergerakan banyaknya polutan mikroplastik di udara,” tambahnya.
Arseto kemudian memaparkan proses munculnya mikroplastik sekunder yang terbentuk akibat degradasi makroplastik. Ketika plastik berukuran besar mengalami pelapukan, akan muncul partikel-partikel kecil berukuran kurang dari 5 milimeter. Terurainya partikel plastik tersebut dapat dipicu oleh paparan angin, panas, sinar ultraviolet (UV) matahari, perubahan cuaca, serta aktivitas manusia.
Fenomena hujan mikroplastik ini, lanjut Arseto, dapat memunculkan berbagai masalah baru yang saling berkaitan. Mikroplastik yang berasal dari udara dan turun bersama air hujan dapat kembali terbawa aliran air menuju sungai dan laut, serta meresap ke tanah. Mikroorganisme dan biota perairan pun dapat menyerap partikel tersebut hingga akhirnya berpotensi terakumulasi dalam tubuh manusia dan memicu gangguan kesehatan.
Dosen ITS tersebut juga menyoroti keberadaan plastik sebagai benda yang sudah sangat melekat dalam kehidupan masyarakat. Penggunaan plastik yang tidak dibarengi dengan pengelolaan sampah memadai, menurutnya, menciptakan permasalahan yang semakin sulit ditangani.
“Hal ini juga berkaitan dengan pembatasan timbulan dan penanganan sampah yang masih belum efektif dan optimal,” tandasnya.
Lulusan University of Queensland, Australia itu menjelaskan bahwa Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di Indonesia hingga kini masih banyak yang menerapkan sistem open dumping atau penimbunan sampah secara terbuka. TPA yang benar-benar menjalankan sistem sanitary landfill atau penimbunan terkontrol bahkan belum mencapai 50 persen. Ia mengingatkan bahwa kondisi tersebut merupakan alarm bagi pemerintah daerah untuk segera berbenah.
Kendati demikian, Arseto mengakui bahwa biaya operasional pengelolaan sampah yang tinggi dan rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemilahan sampah menjadi tantangan utama dalam perbaikan sistem. Ia menekankan pentingnya kerja bersama dari seluruh pihak.
“Pengelolaan sampah memerlukan integrasi dari hulu ke hilir yang melibatkan peran semua pihak,” ujarnya.
Pada bagian akhir, Arseto menegaskan bahwa fenomena yang muncul saat ini merupakan alarm atau wake up call dari alam yang seharusnya membuka mata semua pihak. Upaya menangani masalah mikroplastik, menurutnya, akan berkontribusi pada tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs), termasuk poin ke-12 tentang Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab serta poin ke-13 mengenai Penanganan Perubahan Iklim.
“Upaya dan peran dari masing-masing pihak lah yang diharapkan dapat semakin ditingkatkan,” tutupnya.



